Article Detail

Belajar Dari Spiritualitas Bunda Elisabeth

Meneguk Kesejukan Keilahian di Antara Lalu-Lalang Materialisme : Afirmasi Spiritualitas Bunda Elisabeth Gruyters dalam Karya Pelayanan Pendidikan

Oleh: Yohanes Bowo Prasetyanto, S.Pd

Guru SD Tarakanita Citra Raya

           

Kemajuan dan perubahan adalah arus yang tidak terbendung sebagai bagian dari derak zaman dan peradaban. Kemajuan dan perubahan ini di satu sisi membawa kesejahteraan bagi sebagian umat manusia. Sementara itu, sebagian yang lainnya terserak, terseret, bahkan terpuruk tidak berdaya.

            Sebuah ilustrasi nyata kaitannya dengan hal di atas dapat kita temukan di negara yang kita cintai ini. Di negara ini dapat kita jumpai gedung-gedung tinggi atau perumahan elit berdampingan kontras dengan perkampungan kumuh yang seadanya. Sebagian warga negara kita hidup dalam gelimang kemewahan karena uang yang mereka miliki telah dapat bekerja sendiri untuk menghasilkan uang. Di sisi lain, tidak sedikit warga negara yang membanting tulang, memerah tenaga hanya untuk sekedar bisa bertahan hidup atau bisa untuk makan.

            Setiap kemajuan dan perubahan zaman tentulah membawa dampak tersendiri bagi sebuah negara yang apabila tidak terkelola dengan baik pastilah akan membawa berbagai masalah atau persoalan. Kemiskinan hanyalah merupakan salah satu masalah klasik yang dihadapi oleh setiap negara miskin dan berkembang. Masalah kemiskinan seolah berbanding lurus dengan tingginya angka pengangguran dan meningkatnya angka kriminalitas.

            Kesejahteraan materialisme agaknya merupakan kiblat kehidupan bagi sebagian besar warga negara kita sekarang ini. Menjadi kaya raya tentu bukanlah sebuah kesalahan. Akan tetapi, menjadi kaya dengan mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan  rakyat banyak tentulah tidak bisa dibenarkan. Berita-berita di televisi tentang kasus korupsi kiranya telah menggaris bawahi point ini.

            Berkaitan dengan masalah di atas, dalam Pedoman Pelaksanaan Spiritualitas CB untuk Pelayanan Pendidikan ( selanjutnya PPSCB ), secara lebih terinci dalam halaman 31-32, dikatakan bahwa hidup manusia zaman sekarang tak lepas dari berbagai kesulitan dan persoalan.  Sebagaian besar manusia berada dalam posisi sulit dan dirugikan. Manusia dianggap sebagai mesin produksi, manusia dilanda budaya konsumtif yang seringkalinya membuat hilangnya akal sehat dan mendorong untuk menghalalkan segala cara. Manusia kurang menghargai harkat dan martabatnya sebagai sebagai citra Allah.   Kehidupan terancam oleh kahancuran karena manusia sendiri berubah tabiat menjadi egois, licik, penuh persaingan tidak sehat, saling memakan dan mengorbankan satu dengan yang lainnya ( homo homini lupus ), penuh kebencian, mengejar kepentingan sendiri, materialistis. Dengan kata lain, manusia mengalami kekaburan dalam memperjuangkan nilai-nilai hidup.

Keadaan di atas lebih ditegaskan dengan semakin “murahnya” harga sebuah nyawa, berita-berita pembunuhan dengan berbagai modus hampir setiap hari dapat kita ketahui melalui media masa. Perang antar suku, bahkan bentrokan antar kelompok atau suporter yang menelan korban jiwa seakan tidak menggetarkan lagi, tidak menimbulkan rasa miris lagi. Jurnalisme justru menjadikannya kemanusiaan semakin dingin dan beku.

Lantas, apa hubungan spiritualitas Bunda Elisabeth Gruyters dalam layanan pendidikan dengan semua kejadian dan permasalah di atas?

Seandainya Bunda Elisabeth Gruyters hidup pada zaman sekarang ini, tentulah makan dan minum beliau akan tersirami oleh air matanya dan di waktu malam bantalnya pun akan basah dengan air mata. Sama dengan keadaan yang Bunda Elisabeth hadapi saat itu, keadaan negara kita saat ini pun tentu akan sangat mendukakan hatinya. Beliau tentulah tak akan henti-hentinya memanjatkan keluh kesahnya serta doa-doanya ke surga dan semua orang kudus.

Bunda Elisabeth tentu tidak akan tinggal diam terhadap kenyataan ini. Dukanya yang mendalam menempatkan kembali arti penting penderitaan sesama serta keselamatan jiwa-jiwa tentulah menjadi prioritas karya nyatanya yang dibarengi dengan doa devosinya yang tidak akan pernah terhenti .

Tarakanita sebagai lembaga pendidikan yang dijiwai oleh semangat Bunda Elisabeth dapat menjadi perpanjangan tangan beliau dalam mengalirkan kasih dan rahmat Allah. Tarakanita sebagai lembaga pendidikan yang telah berdiri selama 60 tahun dapat semakin berperan terhadap perbaikan keadaan negara melalui para pendidik dan alumni-alumninya.

 Melalui pendidikan di Tarakanita setiap alumni  memiliki semangat untuk selalu tidak tahan terhadap penderitaan sesama (Compassion), sama seperti yang dialami Bunda Elisabeth ketika menghadapi orang-orang sakit yang dirawat di Calvarenberg ataupun ketika mendampingi Nyonya Besar di ujung pertobatannya.

Tarakanita sebagai lembaga pendidikan melalui karya-karyanya dapat kembali membentuk nilai-nilai baru dalam kehidupan dalam masyarakat. Melalui nilai-nilai (Cc5) yang dihayati dalam setiap kegiatan pendidikan, setiap anggota entah itu karyawan pendidikan, pendidik, ataupun peserta didik sekalipun dapat menjadi “biji-biji gandum” yang akan membawa perubahan pada kehidupan manusia. Setidaknya, secara khusus, setiap lulusan Tarakanita telah mempunyai benih-benih yang telah tersemai untuk menjadi pribadi yang sadar akan jati dirinya, asal usulnya, dunia dan lingkungan alam sosialnya, dalam istilah PPSCB disebut dengan kesadaran insani (hal. 19)

Tarakanita juga dapat mengambil peran sebagai salah satu lembaga pendidikan yang  mampu membantu setiap peserta didiknya untuk mengembangkan akal budi, perasaan, hati nurani, kehidupan sosial, dan kerohanian sehingga setiap peserta didik bertumbuh menjadi pribadi utuh dan seimbang (PPSCB hal. 27). Kehadiran Tarakanita dalam peran ini sangat dibutuhkan. Seperti kita tahu, keterbukaan komunikasi dan era berkembangnya jejaring sosial telah menumbuhkan karakter peserta didik sekarang cenderung apa adanya, etika ketimuran telah tergusur dengan etika barat yang cenderung mulai memposisikan antara orang tua dan anak pada posisi yang setara.

Para peserta didik mulai familiar dengan menyebut diri aku daripada saya, sepadan dengan sebutan you and me. Tidak berbeda jauh dengan bagaimana vulgarnya perdebatan-perdebatan antara tokoh panutan dalam acara-acara di televisi yang jika dipandang dari etika ketimuran sesungguhnya tidak sesuai.

Zaman memang sudah bergeser. Para generasi muda berada dalam benturan berbagai budaya yang berbeda. Sungguh kasihan mereka jika tidak mendapat pendampingan yang benar.

Dalam pergumulan tersebut, satu hal mendasar yang perlu ditanamkan adalah bahwa di atas segala-galanya kasih kepada sesama merupakan hal yang luar biasa yang dapat mengurai dan mengatasi berbagai persoalan baik antar individu atau kelompok. Kasih kepada sesama akan selalu mendorong untuk penciptaan kebaikan sesama. Jika ada kasih kepada sesama, maka akar persoalan saat ini yang ditimbulkan oleh egoisme, kebencian, menghalalkan segala cara, mengorbankan sesama dapat teratasi. Kasih kepada sesama dapat dijadikan sebagai passion. 

Upaya menumbuhkan kasih kepada sesama ini dapat diupayakan dengan menciptakan atmosfir unit yang penuh kasih dengan menerapkan nilai spiritual kasih Bunda Elisabeth yang berbunyi “ Hendaknya menggunakan mulut, mata, mimik wajah, tingkah laku dan gerak – gerik mencerminkan dan bernafaskan kasih kepada sesama”. Sebuah kebijaksanaan yang mengatasi ruang dan waktu. Sebuah kebijaksanaan yang dapat melunakkan kekerasan hati dan egosentris manusia zaman ini jika benar-benar bisa untuk dihayati.

Hendaknya nilai spiritual ini diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh semua anggota unit dalam segala kesempatan dan kegiatan. Sebagai contoh, kegiatan 4S atau pelayanan prima akan lebih menyentuh jika didasari dengan nilai ini. Seandainya atmosfir penuh kasih ini bisa terhayati, tertanam, tumbuh, berbuah, menyebar, meluas melalui setiap lulusan demi lulusan, tentulah akan menjadi berlipat ganda dampak yang dapat dirasakan oleh masyarakat.

Akhirnya, karya suster-suster CB dalam berbagai karya layanannya selama 175 tahun dan Yayasan Tarakanita selama 60 tahun di Indonesia telah menjadi bukti tersendiri bahwa keutamaan-keutamaan dari buah-buah hidup spiritualitas Bunda Elisabeth Gruyters adalah abadi, mengatasi ruang dan waktu. Esai ini hanyalah sebuah afirmasi saja. Semoga dengan kasih yang mendalam kepada sesama dengan disertai doa yang tidak pernah terhenti, kita semua semakin dimampukan dalam meningkatkan pelayanan di bidang pendidikan dan Tarakanita semakin mengambil bagian dalam pembentukan manusia muda Indonesia yang berkarakter. Semoga dengan dijiwai spiritualitas Bunda Elisabeth Gruyters, Tarakanita mampu melahirkan “generasi cahaya”. Dari Tarakanita untuk Indonesia. Sebagai penutup kalimat indah yang mungkin bisa sebagai kesimpulan adalah “Mirabilia Opera Altissimi!” (Pekerjaan Tuhan sungguh menakjubkan).

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment